Fine & Dandy Shop, Toko Keren untuk Pria Bergaya

“Clothes maketh a man”, begitu kata Colin Firth di film Kingsman. Bagi yang sudah menonton film itu pasti kagum dengan penampilan para pelakon alias jagoan-jagoan Kingsman yang penampilannya keren sekali atau disebut “dapper”. Penampilan seperti itu disebutnya sebagai “gentleman style”. Contoh lain di mana kita bisa melihat pria berpakaian ala gentleman style adalah di serial seperti Poirot (detektif dari novel misteri Agatha Christie) dan film-film berlatar belakang era tertentu seperti tahun 1920 dan 1930. Di kota New York, ada sebuah toko mungil yang menawarkan barang-barang guna memenuhi upaya pria untuk tampak bergaya dengan gentleman style. Saya menemukan toko ini secara tidak sengaja saat saya menjadi pemandu perjalanan sekelompok remaja dari Indonesia. Kami baru saja mengunjungi Intrepid Museum yang berupa sebuah museum di atas sebuah kapal induk dan berjalan menuju stasiun subway terdekat. Toko bernama FINE & DANDY ini digagas oleh dua orang pria dan bermula dari sebuah toko online. Mereka menawarkan beraneka dasi, dasi kupu-kupu, scarf, saputangan, pelengkap jas seperti cufflinks, pin lapel, topi, neckerchief dll yang diproduksi di Amerika Serikat serta benda-benda unik lainnya . Setelah beberapa tahun berbisnis online, Matt Fox dan Enrique Cramme III yang mendirikan bisnis yang bermotto,”Accessories for Dapper Guys”, di sebuah toko di daerah West 49th Street di daerah kota New York yang dikenal dengan Hell’s Kitchen. Toko Fine & Dandy ini betul-betul mungil dan karena ruangan toko yang satu-satunya dipakai untuk memajang produk mereka tidak luas dan penuh dengan bermacam barang, saat saya bersama 6 remaja Indonesia ke situ terasa toko langsung penuh. Karena banyaknya barang di toko ini, seseorang harus memperhatikan satu persatu supaya tidak terlewatkan barang yang menarik.

Keenam remaja yang saya bawa ke Fine & Dandy langsung berpencar melihat pernak-pernik yang menarik perhatian mereka. Dua di antaranya adalah remaja pria yang langsung jatuh hati dengan barang-barang vintage yang juga bisa ditemukan di toko unik ini. Sejak tahun 2014, Fine & Dandy menawarkan vintage memorabilia dan bekerja sama dengan para desainer kostum dan interior serta penata busana untuk membantu pelanggan yang ingin mendapatkan gaya busana dari era tertentu. Salah satu remaja pria yang saya pandu menaksir sebuah dasi kupu-kupu vintage. Pemuda ini sepertinya memang pecinta gentleman style karena selama di Amerika dia memakai jas. Dia langsung membeli dasi kupu-kupu yang termasuk mahal harganya itu dan langsung meminta pekerja toko memasangkannya. Pemuda berusia 14 tahun itu langsung tampak bangga dan girang memakai dasi barunya. Sementara itu, remaja pria satunya tertarik pada sebuah monocle (kacamata berlensa satu). Saya tahu monocle itu kemungkinan dari tahun 1920-30 dan tanpa berpikir panjang, walaupun harganya lebih dari $100, pemuda itu langsung mengiyakan membelinya. Wow! Saya sempat terpana dengan daya belanja dua pemuda itu. Pekerja toko tentu saja senang sekali karena keenam remaja yang saya bawa ke Fine & Dandy membeli bermacam barang yang totalnya mencapai ratusan dollar. Sebagai tanda terima kasih pada saya karena sudah membawa sekelompok remaja yang senang berbelanja, dia memberi saya bonus – pajangan/mainan dari karet berbentuk Chrysler Building sebanyak 3 buah.

 

fineanddandy11

20171116_144459

fineanddandy1

fineanddandy2

fineanddandy5

fineanddandy6

fineanddandy7

fineanddandy8

fineanddandy10

fineanddandykids

fineanddandy13

 

Enjoying Korean Food Festival

This is a very, very late post. I apologize, I should’ve posted about this wonderful event by the end of last year. But, hey, better late than never, right? At first, my intention was supposed to meet my good friend, Anne, who lives in New York City. It was one Friday in October and we were going to go photo hunting, but when I arrived at the Times Square area, I was surprised to see there’s an event that was about to start. The banner said “2014 Korean Food Festival” and I was ecstatic of course. I love Korean food and its custom too, and there I was in the festival where I could taste as many food as I wanted to and see the entertainment. If you ever watch one or two (maybe a dozen) Korean dramas, you would fall in love with Korean customs and sure enough, the foods too. I told my friend to cancel our photo hunting and instead, we came to the festival really enjoying our girls’ day out.

Korean Food Festival 2014

Korean Food Festival 2014

Korean Food Festival 2014

Korean Food Festival 2014

Korean Food Festival 2014

Korean Food Festival 2014

Before meeting with my friend, I took some times by my self going around several stands that offered some foods. There wasn’t a lot of people then, since the festival was just starting. The foods were free! One of the food was some type of salad made out of some mushrooms that were harvested from a forest in Korea. Another interesting food to taste was an almond and plum cookies. The cookie was yummy! Then I went to see a couple of more stands and took some souvenirs that were offered from several stands. I got canvas bags with the motifs of Korean agriculture produces, such as mushroom and persimmon, beside samples of tea, coffee and Gochujang or Korean spicy sauce. After a while, my friend came too and we looked around to see more stands, watched a traditional dance, also a modern dance and the drum show on stage. There was also an event like a chance to make your own kimbab or a roll of rice with vegetables and omelette that looks similar to sushi. Anne and I took turn making the kimbab and afterwards got a beautiful colorful handkerchief as a souvenir. We also took part playing a game of wheel-of-fortune type of game. I got a bottle of juice, while Anne got a big box of Gochujang as our prizes.

Korean Food Festival 2014

Times Square - Korean Food Festival 2014

Times Square - Korean Food Festival 2014

Times Square - Korean Food Festival 2014

Korean Food Festival 2014

Korean Food Festival 2014

Korean Food Festival 2014

Korean Food Festival 2014

Korean Food Festival 2014

We’ve been wandering and lining up here and there for sometimes when we saw a stand that offered people trying out Korean traditional dress called Hanbok. My friend and I saw a middle-aged couple were helped into a pair of traditional costumes. They looked like the bride and the groom. Then it was our turn. I asked Anne to take my pictures while I put on the Hanbok and I’d do the same to her. We were giggling and smiling like little girls playing dress-up. I think I looked like one of the Korean princess in the Korean drama I once saw. In all, we really had fun and a great time coming to the festival. The foods were delicious. The attractions were interesting. Can’t wait to come to another Korean Food Festival.

Times Square - Korean Food Festival 2014

Times Square - Korean Food Festival 2014

Times Square - Korean Food Festival 2014

Korean Food Festival 2014

Mampir ke Gallery Seni di SoHo, New York

Kota New York memiliki banyak tempat-tempat menarik yang harus dikunjungi. Dari sekian banyak tempat tersebut, banyak yang menyaratkan pengunjung membayar tiket yang tidak murah harganya. Tapi New York juga punya tempat-tempat menarik yang bisa didatangi gratis. Salah satu tempat yang menjadikan New York terkenal dengan kota pusat seni dan budaya adalah beberapa gallery seninya yang tersebar di penjuru kota. Satu dari gallery seni yang saya datangi adalah sebuah gallery di daerah SoHo, yang terkenal sebagai pusat seni kota New York. Saya kebetulan saja melihat gallery ini dan karena penasaran, saya masuk dan memperhatikan karya-karya seni yang sedang dipamerkan. Saya sarankan untuk bertanya pada pihak gallery apakah boleh mengambil photo di situ atau tidak, karena tidak semua gallery membolehkan umum mengambil photo sebuah karya seni.

Di gallery seni yang berada di lantai dasar sebuah gedung tua ini beberapa karya dari seniman yang sedang naik daun dan yang sudah terkenal namanya dipamerkan dengan menarik. Yang membuat saya kagum adalah karya-karya patung dan gambar dari seorang Dr. Seuss, nama yang terkenal sebagai penulis buku-buku anak yang populer di Amerika. Selain itu ada pula karya-karya gambar dari sutradara terkenal Tim Burton, yang terkenal dengan film animasinya The Nightmare Before Christmas. Beberapa karyanya yang menggambarkan karakter utama dari film tersebut, Jack dan Sally, dipamerkan juga di gallery bernama AFA ini.  Gallery seni di New York bisa menjadi tempat inspirasi dan juga rekreasi bagi siapapun yang ingin menikmati keunikan megapolitan ini. Karya-karya seni yang dipamerkan bisa membuka wawasan kita untuk mengenal seniman-seniman lokal dan juga yang tarafnya sudah mendunia.

 

galleryny

galleryny2

galleryny3

galleryny5

galleryny7

galleryny9

galleryny10

galleryny8

galleryny12

galleryny14

galleryny11

galleryny6

Pop-ups from Prague Karya Vojtech Kubasta

Kertas bergambar, sebagus apapun, kalau hanya selembar, rasanya kurang dramatis dibandingkan dengan susunan kertas bergambar yang dibangun sedemikian rupa menjadi sebuah buku pop-up. Buku berhiaskan gambar-gambar pop-up memiliki dimensi unik yang membuatnya jadi istimewa. Salah satu arsitek buku-buku pop-up tersebut bernama VOJTECH (baca: voitetch) KUBASTA. Saya menjadi tahu tentang master pop-up dan karya-karyanya ini saat mengunjung Grolier Book Club di 47 East 60th Street, New York. Secara kebetulan saya membuka bagian Arts di koran New York Times langganan kami dan saya lihat ada pameran gratis di Grolier Book Club. Grolier Book Club didirikan oleh perusahaan buku terkenal, Grolier, yang telah menerbitkan banyak buku-buku terutama buku anak. Club ini berada di sebuah gedung tua yang menjadi ciri khas Manhattan, yang memiliki perpustakaan yang berisi beberapa edisi awal buku-buku ternama dunia. Pameran buku pop-up karya Vojtech Kubasta diselenggarakan di lantai kedua gedung.

 

grolierbooks11

grolierbooks14

grolierbooks12

grolierbooks17

grolierbooks15

 

Di sebuah ruangan yang terlihat akrab, di lantai dua gedung Grolier Book Club, terdapat beberapa lemari kaca yang di dalamnya terlihat karya-karya pop-up Vojtech Kubasta. Salah satunya yang langsung menarik perhatian saya adalah pop-up Kabah dan sekitarnya. Saya kurang tahu bukunya tentang apa, tapi ilustrasi bukunya sangat menarik. Karya berikutnya dari Kubasta memperlihatkan sebuah bazzar, pasukan gajah dan perahu Nabi Nuh. Selain karya-karya berupa buku pop-up, karya Kubasta lainnya yang dipamerkan termasuk poster dan kartu ucapan. Kubasta lahir di Vienna, Austria, dan hidup di Praha, Chekoslovakia. Kubasta berkarya dalam kungkungan pemerintahan Nazi, Perang Dunia II dan komunis Chekoslovakia. Beberapa karyanya memperlihatkan perkembangan seni yang ditekan oleh politik, namun tidak mengurangi keindahan dan kerumitan teknik menyusun bangunan dari kertas. Pameran buku-buku pop-up karya Vojtech Kubasta membuka cakrawala pengetahuan saya mengenai buku-buku anak dan seniman yang menjadikan buku-buku tersebut hidup dan menjadi nostalgia yang berkesan. Grolier Book Club bisa menjadi tujuan jalan-jalan di kota New York, apalagi karena pameran yang diadakan selalu berganti temanya dan gratis.

(Untuk mengetahui cerita lengkap Vojtech Kubasta, bisa membacanya dari SINI).

grolierbooks

grolierbooks1

grolierbooks2

grolierbooks3

grolierbooks5

grolierbooks6

grolierbooks7

grolierbooks16

grolierbooks8

grolierbooks9

Pameran Kereta Mainan Lionel di Grand Central Terminal

Di stasiun kereta terbesar di kota New York, Grand Central Terminal, diantara sekian banyak toko yang menjadi salah satu daya tarik stasiun ini, terdapat New York Transit Museum Gallery Annex & Store. Sejak Desember sampai Februari kemarin, di sana ada pameran kereta mainan atau dinamakan Holiday Train Show. Kereta mainan yang lebih populer sebagai “Lionel trains” merupakan simbol “holiday season” di Amerika. Rasanya semua anak laki-laki di masa itu (1900-1990) mendambakan sekali untuk memiliki seperangkat kereta mainan Lionel. Di sebagian NY Transit Gallery Annex berdiri sebuah bangunan yang menunjukkan wujud kota New York dengan gedung-gedung pencakar langitnya dan Grand Central Terminal. Bentuk-bentuk miniature yang sangat detail itu menjadi pemandangan yang sangat menarik, selain sebuah kereta mainan yang bolak-balik melewati kota mainan itu. Terlihat juga ada beberapa wujud orang-orangan yang terlihat bekerja di bagian bawah kota memperbaiki terowongan subway, calon penumpang yang sedang berdiri menunggu kedatangan kereta di stasiun, orang yang sedang berada di trotoar, dan simbol lain kota NY – taxi dll.

Di atas bangunan-bangunan yang menyerupai kota New York, lampu-lampu kecil berkelap-kelip laksana bintang. Di antara lampu-lampu tersebut, tergantung banyak gambar mainan dari masa yang sama kereta Lionel pernah populer (sekitar tahun 50-60). Pada bagian lain bangunan yang menjadi bagian pameran, terdapat diorama pegunungan, pedesaan bahkan dengan detail kehidupan yang biasanya berlangsung di sana, seperti binatang ternak yang sedang merumput. Kereta api mainan terlihat melewati jembatan, bukit dan gunung lalu pedesaan sebelum kemudian menuju ke kota besar. Saya suka sekali dengan kereta, baik yang mainan maupun yang aslinya. Nostalgia naik kereta sangat membekas buat saya dan kalau ada pameran kereta mainan, saya berusaha datang berkunjung untuk melihat dan mengagumi berbagai rupanya, dan Holiday Train Show yang berlangsung di Grand Central ini mengagumkan sekali detailnya. Ada daya seni tinggi yang terlibat dalam pembuatan sebuah model kereta dan hal-hal yang membantu visualisasinya seperti diorama dan panorama yang dilalui kereta. Meskipun bentuknya mainan, tapi sensasinya serupa dengan kereta sesungguhnya.

Lionel Train Show

Lionel Train Show

Lionel Train Show

Lionel Train Show

Lionel Train Show

Lionel Train Show

Lionel Train Show

Lionel Train Show

Lionel Train Show

Lionel Train Show

Lionel Train Show

International Pancake Tuesday at Grand Central

Just last week, when my kids had their winter break, I took them to go to New York to meet my friends and her family who visited the city. We’ve been to New York many times and my kids have some soft spots for the city. They always want to visit every time they have school break. To reach New York, we have to take a two-hour train ride  to Grand Central Station. Grand Central is the largest and grandest train station I’ve known so far. You can’t help but feeling in awe when you look your surrounding at this station. The station high ceiling depicts the constellations and its giant windows refracts the sunlight into a dramatic scenery. There’s a part of Grand Central that’s called Vanderbilt Hall. It is a less spacious part of the station that serves almost like a lobby. From time to time there’s always some activities lay out at the hall for every one to see and enjoy. A holiday show presenting the artisan handmade crafts and unique holiday gifts, a special exhibition by a special artist or pumpkin carving demo near Halloween. Last Tuesday, we were fortunate to be at the station when the International Pancake Tuesday celebration was happening.

We didn’t know about this free event held by Nutella, until we came closer to see why some people were lining up. A lady approached us and ushered us to the entrance to get free silver-dollar pancakes. The silver-dollar pancake is the pancake that has similar shape as the silver dollar. My kids and I queued up to the side where Nutella staff handed out two pieces of silver-dollar pancakes with a dollop of Nutella at the 1st table. Then we moved up to the 2nd table where a staff asked us what kind of fruit pieces that we’d like to have with our pancakes. They were whole blueberries and blackberries, also banana, strawberry and green apple pieces. I picked some blackberries and apple pieces to accompany my pancakes. We stood nearby eating our pancakes. Then, another staff offered us if we would like to taste some pancake in a cone. What was that? Pancake in a cone? Well, sure thing! So, we lined up again to meet the chef who created pancake in a cone, Dominique Ansel. He greeted us and handed to each of us, two pancake-in-a-cone. The pancakes were yummy with dollops of Nutella on top of them. After that, we were asked if we’d like to be photographed with the official background, and of course we would. We posed for several times while holding a Nutella jar, a stack of pancake, blueberries and a strawberry from cardboard. The kids and I had a laugh and full stomach thanks to the International Pancake Tuesday.

pancakeday1

pancakeday2

pancakeday

pancakeday4

pancakeday3

pancakeday5

Halal Food ala New York City

Sudah lama saya ingin membahas jurnal mengenai makanan pinggir jalan yang dijajakan di kota New York ini. Kebetulan sekarang bulan Ramadan, saya bahas saja hal menarik dari kota megapolitan New York, berupa makanan Timur Tengah yang terkenal dengan julukan HALAL FOOD. Di kota New York, banyak sekali pilihan jenis makanan baik yang berupa jajanan pinggir jalan, sampai ke hidangan istimewa di restoran berkelas tinggi. Bisa dibilang, di kota New York, mau menemukan makanan apa saja pasti ketemu. Ada makanan Italy, China, Thailand, Jepang, Inggris, Perancis, bahkan dari selera kampung halaman, makanan Jawa atau Padang pun ada. Kira-kira sepuluh tahun yang lalu saat Amerika terlibat dalam perang di wilayah Timur Tengah, banyak pengungsi dari sana mendatangi Amerika. Kedatangan para pengungsi ini membawa hal yang erat dengan kehidupan mereka, makanan khas dari Timur Tengah.

Pertama kali kami mencicipi makanan Timur Tengah yang lebih dikenal dengan “halal food” ini, sewaktu suami yang saat itu bekerja di New York, membawa pulang seporsi makanan baru. Kami bukan penyuka makanan dari Timur Tengah, tapi karena penasaran dan seperti kata suami,”Baunya sedap, waktu lewat di dekat gerobaknya”, kami mencobanya. Ya, makanan halal ini dijual dari gerobak yang berhenti di depan beberapa gedung perkantoran di daerah Manhattan. Gerobak-gerobak tersebut dihiasi dengan papan yang menampilkan berbagai jenis makanan yang ditawarkan, beberapa botol minuman yang bisa dibeli dan bermacami perkakas untuk menyiapkan makanannya. Wangi aroma daging kambing yang dipanggang di alat yang berputar yang diletakkan vertikal, terbawa angin dan menyebar ke sudut-sudut kota. Saat si penjual menyiapkan nasi campur dengan dagingnya (bisa pilih ayam atau kambing), mencampurnya dengan potongan lettuce, menambahkan lembaran roti pita, lalu menyiramkan saus yang terbuat dari yogurt dan kalau si pembeli meminta, tambahan saos pedas ke atas pesanannya.

Halal Food - NYC

Halal Food-NYC

Dari sekian banyak penjual halal food di Manhattan, makanan Timur Tengah terenak di sana adalah yang ditawarkan oleh penjual yang menamakan diri mereka THE HALAL GUYS. Awalnya, kami mengenal The Halal Guys karena kami ingin mencoba makanan Timur Tengah yang ditawarkan oleh beberapa gerobak makanan di seputar Midtown Manhattan. Sesudah mencoba gerobak A, B, C, favorit kami adalah makanan yang dijajakan The Halal Guys. Tempat mangkal mereka di 53rd Street & 6th Avenue berdekatan dengan Museum of Modern Art, yang tentunya menjanjikan peluang untuk mendapatkan banyak pelanggan. Karena itu antriannya selalu panjang. Baru-baru ini di koran New York Times terdapat artikel yang membicarakan mengenai The Halal Guys yang saat ini menjadi satu dari sekian banyak makanan khas kota New York. Selain makanan dari The Halal Guys, ada lagi makanan Timteng dari gerobak makanan lainnya yang juga enak, seperti satu yang mangkal dekat hotel Hilton Manhattan. Pada saat ada kawan blogger yang kebetulan sedang berkunjung ke New York bersama suaminya, saya ajak mereka mencicipi halal food ala New York City dan kami piknik di Central Park.  Siapa yang mengira, satu ciri khas kota New York adalah seporsi makanan Timur Tengah yang tadinya dijajakan untuk memenuhi kebutuhan para supir taxi New York yang rata-rata Muslim.
Halal Guys - NYC

Halal Guys - NYC

Halal Food - NYC

Serba-serbi Naik Subway di New York City

Salah satu daya tarik kota megapolitan New York adalah subway-nya yang melegenda. Tahun 1998, adalah pertama kalinya saya merasakan naik subway di kota New York. Saya beruntung merasakan naik subway saat usaha perbaikan dan memperindah stasiun serta gerbong subway sedang dan sudah terwujud. Kalau saja saya naik subway di tahun 70-an, gerbongnya masih dihiasi dengan graffiti dan kejahatan di dalam gerbong subway serta stasiunnya masih tinggi. Subway di New York terlahir dari kereta kuda atau stagecoach yang dioperasikan oleh seorang pengusaha bernama Abraham Brower, pada tahun 1827. Stagecoach ini dipakai untuk khalayak umum dan memiliki kursi sebanyak 12 buah. Kemudian pada tahun 1832, John Mason, mendirikan the New York and Harlem Railroad. Kereta kuda yang beroperasi saat itu menggunakan roda dari metal dan melewati rel. Sesudah kendaraan umum yang dioperasikan oleh pihak swasta, pemerintah kota New York mengambil alih dan mengatur sistem subway di kota New York. Pada tanggal 27 Oktober 1904, sistem subway di kota New York resmi beroperasi di bawah the Interborough Rapid Transit Company (IRT).

Naik subway di New York berarti harus bisa membaca petanya, yang bisa didapatkan dari booth di stasiun subway, atau dengan melihat peta besar yang dipampang di situ. Seperti kata suami saya yang selama beberapa tahun bekerja di kota New York, harus mengerti istilah “UPTOWN”, “MIDTOWN” dan “DOWNTOWN”. Alamat yang nomor jalanannya di atas nomor 59, berarti “UPTOWN” dan menuju ke bagian utara Manhattan. Daerah uptown adalah daerah dimana Central Park, taman kota terbesar, berada, juga beberapa museum besar New York berdiri. Sementara itu, daerah “MIDTOWN” merupakan daerah New York yang melingkupi daerah bisnis dan tujuan turis. Banyak gedung bersejarah dan yang menjadi simbol kota New York berada di daerah midtown: Empire State Building, Chrysler Building, gedung PBB, Times Square, daerah teater Broadway, dll. Daerah selanjutnya adalah “DOWNTOWN”, yang mengarah ke daerah pelabuhan di pulau Manhattan dimana kota New York berada. Di daerah downtown inilah terletak kantor walikota New York, Chinatown, Financial District dan pelabuhan untuk mengunjungi patung Liberty. Begitu kita paham akan tujuan kita, akan mudah membaca peta subway dan dijamin tidak akan tersesat. Kalau masih bingung atau tidak tahu dimana stasiun subway, bisa bertanya pada New Yorker yang lewat.

Tanda stasiun subway di jalan

subway-nyc2

Pintu masuk dan keluar subway di Times Square, berada di bawah tanah

subway-nyc5

 

Subway datang tiap 5 menit sekali dan di beberapa stasiun ada pemberitahuan di papan digital atau lewat pengeras suara, kalau ada kejadian tertentu yang menghambat perjalanan atau ada perubahan rute. Saat memasuki stasiun subway, calon penumpang diharuskan menggosok kartu Metro card di mesin, yang kemudian putarannya (turnstile) bisa digerakkan saat kartu sudah terbaca. Kartu Metro card ini bisa diisi ulang sampai tanggal kadaluarsanya dan kalau mengisi sebanyak $20, akan mendapatkan bonus 1 ongkos subway. Untuk mengenali subway mana yang akan kita naiki, kita tinggal merujuk pada huruf dan angka yang mewakili tiap rutenya. Misalkan: subway 4,5,6 yang menuju uptown dan downtown, sementara subway 7 menuju Flushing, di daerah Queens, atau subway N,Q,R yang rutenya midtown ke downtown dan Forest Hills di Queens. Kalau perjalanan kita menentukan kita harus naik subway yang berbeda, kita harus turun di stasiun subway tertentu yang biasanya agak besar untuk berganti subway rute selanjutnya.

Kartu Metro Card yang dipakai untuk naik subway

subway-nyc7

Stasiun subway di bawah tanah, terlihat dari permukaan

subway-station5

 

Hal yang saya kurang nikmati dari naik subway adalah karena letaknya yang di bawah tanah. Di beberapa stasiun, letak dari peron (platform) subway yang dituju berada jauh di bawah. Ciri khas dari stasiun subway adalah anak tangganya yang banyak. Hanya di segelintir stasiun terdapat escalator, dan itu pun kadang belum tentu bekerja. Jadi kalau saat turun dari subway, peronnya berada di bagian paling bawah, menaiki anak tangganya untuk menuju ke permukaan serasa olahraga yang cukup menguras tenaga. Sedangkan saat harus menuju ke bawah, melihat sekian anak tangga yang curam, kadang saya merasa ngeri. Karena tangga ke bawahnya biasanya sempit yang hanya bisa dilewati satu orang, ditambah lampu yang agak temaram harus membuat waspada. Langit-langit di stasiun bawah tanah, terutama yang jauh di bawah, tinggi dan terlihat gagah. Di stasiun itu terlihat bagaimana kota New York berkembang di tiap era. Tembok stasiun yang menghitam karena debu dan usia bisa menambah makna dari sebuah stasiun yang bersejarah dan termasuk tua, tapi ada juga yang sekedar terlihat jorok, apalagi dengan tambahan bau air seni. Hal lain yang harus diingat sebagai pengguna subway, jangan berdiri terlalu dekat dengan pinggiran peron. Beberapa kejadian menyeramkan dimana seseorang didorong ke tengah rel, bisa dijadikan pegangan. Yang lainnya, harus diingat, naik dan turun subway harus sesegera mungkin. Sebab pintu subway menutup dengan cepat, tapi jangan lupa akan keselamatan diri.

Stasiun subway yang berada jauh di bawah tanah

subway-nyc8

subway-nyc9

Gerbong subway saat kosong

subway-nyc10

 

Kota New York terkenal dengan para senimannya dan di stasiun subway maupun di dalam gerbong subway, beberapa seniman tersebut bisa kita temui. Suatu waktu sekelompok mahasiswa dari sekolah seni yang ternama, Juilliard, tampil memainkan lagu-lagu klasik di stasiun subway Times Square. Di lain waktu, sekelompok anak-anak muda lainnya menari break-dance, sebuah group paruh-baya menampilkan lagu-lagu the Beatles, dan seorang pemain saxophone memukau pengguna subway dengan alunan jazz-nya. Subway di New York seakan menjadi tempat persinggahan berbagai seniman yang kerap kali bisa memukau banyak orang yang lalu-lalang untuk berhenti, menikmati penampilan mereka dan bertepuk tangan meriah. Dari mulai gesekan pemain alat musik tradisional China, seorang wanita yang suaranya klasik dan bergaya blues, atau pemain cello yang tampil di peron di bawah tanah. Suara cello-nya kadang terbenam oleh bunyi mesin subway yang mendekati dan melewati stasiun. Seni lain yang terlihat di stasiun subway adalah mozaik yang menghiasi dinding stasiun. Di beberapa stasiun tua, seni itu terlihat dari detail arsitekturnya. Bahkan poster-poster yang ditempelkan di tiap stasiun pun memiliki seni tersendiri. Bagian dalam gerbong subway juga menampilkan seni dalam wujud gambar yang unik, yang hanya ada di dalam subway, dan ada juga berupa puisi. Subway bukan sekedar alat transportasi umum, tapi juga simbol dari kota New York yang unik dengan segala macam kelebihan dan kekurangannya. Itulah kenapa, saat mengunjungi kota New York, naik subway adalah salah satu agenda yang harus dilakukan.

Subway unik berhiaskan adegan dari sebuah serial drama TV

subway-nyc4

subway-nyc3

Pemusik subway yang banyak ragamnya

subway-nyc

subway-nyc6

Berkunjung ke National Museum of The American Indian

Di seberang stasiun subway 4 dan 5 di kota New York sebelum menuju Brooklyn, di stasiunnya yang bernama Bowling Green, berdiri sebuah gedung yang tadinya merupakan pusat kantor bea cukai Amerika Serikat atau US Custom House. Tepatnya gedung ini bernama Alexander Hamilton US Custom House, nama mantan Secretary of the Treasury (menteri keuangan) di bawah kepemimpinan presiden pertama Amerika, George Washington. Hamilton juga merupakan salah satu pelopor berdirinya negara kesatuan Amerika Serikat. Gedung US Custom House yang terdiri dari tujuh lantai dan desainnya adalah Beaux Arts, berada di bagian ujung pulau Manhattan dan menghadap Bowling Green yang merupakan taman pertama di pulau ini. Pada bagian depan gedung terdapat empat patung wanita yang terbuat dari limestone (pualam) yang menggambarkan Amerika, Asia, Eropa dan Afrika. Mereka terlihat gagah dan anggun.

american-smithsonian

american-smithsonian2

 

Untuk datang ke museum ini, The Museum of American Indian, tidak dipungut biaya apapun. Begitu masuk, pengunjung diharuskan melewati check point, dimana para petugas memeriksa tas yang dibawa menggunakan x-ray dan memeriksa pengunjung dengan alat pendeteksi khusus. Sesudah itu, kita bisa menghampiri meja informasi dimana beberapa keterangan mengenai benda-benda apa saja yang sedang dipamerkan atau kegiatan apa yang sedang dan akan berlangsung dicantumkan dalam brosur yang menarik. Benda-benda yang dipamerkan di museum ini bergantian, begitu pula suku-suku Indian yang dibahas. Pertama kali saya berkunjung ke museum ini sekitar 7 atau 8 tahun yang lalu. Saat itu pamerannya berupa benda-benda dari suku Indian Haida dari Canada dan Alaska dan juga bangsa Inuit. Saat saya datang lagi ke museum ini bersama seorang teman yang saya ajak berkeliling kota New York, pamerannya berupa benda-benda dari berbagai suku Indian di daerah barat dan tengah Amerika. Selain pameran benda-benda peninggalan kebesaran suku-suku Indian, US Custom House sendiri memiliki keindahan di bagian dalam gedungnya yang mengagumkan. Rotundanya yang luas berbentuk oval dengan hiasan di dinding bagian atasnya yang bercerita mengenai perkembangan indutrialisasi dunia barat. Cahaya matahari masuk ke rotunda melalui langit-langit kaca yang juga berbentuk oval dan menambah keagungan ruangan tersebut.

american-smithsonian3

american-smithsonian5

american-smithsonian4

american-smithsonian7

 

Barang-barang yang dipamerkan di bulan Agustus tahun lalu saat saya ke sana, ada yang berupa pakaian orang dewasa maupun anak dan bayi, termasuk sepatu dan perhiasan yang terbuat dari batu lapis lazuli yang berwarna biru tua atau turquoise yang berwarna hijau kebiruan. Selain itu ada pula barang-barang yang mendukung kehidupan sehari-hari seperti alat berburu dan memancing, alat masak, dan bercocok tanam. Di pameran tersebut yang berada di satu lantai, masing-masing suku dipisahkan dalam lemari kaca yang berbeda. Barang-barang menarik lainnya adalah peninggalan seni suku Indian yang sudah tercampur pengaruh Eropa. Saat bangsa Eropa tiba di daerah barat Amerika, banyak warga suku Indian dipaksa untuk mempelajari budaya Eropa, seperti cara berpakaian yang memakai setelan serta celana, dan gaun atau rok panjang; pemaksaan untuk memotong rambut kaum prianya yang rata-rata berambut panjang; dan pelarangan menggunakan bahasa tradisional mereka (hingga akhirnya beberapa bahasa punah). Anak-anak suku Indian diharuskan mengikuti sekolah yang berdasarkan budaya dan aturan Eropa, dari tahun 1790-1920, oleh pemerintah Amerika. Contoh dari upaya asimilasi budaya tersebut juga dipamerkan seperti melalui hasil gambar seorang anggota suku Oglala Lakota bernama Red Dog yang menggambar apa yang dia lihat di perkampungannya (Indian reservation). Barang-barang lainnya ada yang berupa simbol dalam hal penyembuhan penyakit dan cuaca, serta benda lain yang dianggap memiliki unsur mistik atau sihir. Peninggalan budaya dari berbagai suku Indian di Amerika ini, yang bisa jadi sebagian sudah punah akibat wabah penyakit yang dibawa orang Eropa atau akibat perang, merupakan bukti nyata kebesaran dan ketangguhan suku bangsa asli benua Amerika yang dahulu kala pernah menjelajahi negara adidaya ini dengan bangganya.

american-indian1

american-indian2

american-indian

american-indian3

american-indian5

american-indian4

 

Menonton Konser di Carnegie Hall

Diawali dari sebuah kejutan dari suami yang mengajak kami sekeluarga untuk merasakan menonton konser di gedung Carnegie  Hall yang terkenal di kota New York. Konser tersebut berlangsung pada malam Natal, dan kota New York saat holiday season (dari bulan November hingga Desember) biasanya tampil cantik dan meriah lewat berbagai hiasan dan lampu-lampunya. Tanggal 24 Desember, kami sekeluarga berangkat naik kereta dari kota kami tinggal menuju New York. Sesampainya di sana, kami menikmati pemandangan di tiap toko dan gedung yang kami lewati, dan berbagai macam orang yang hilir-mudik memenuhi trotoar. Di berbagai tempat dimana ada pemandangan yang unik, orang akan berkumpul dan mengambil photo untuk kenang-kenangan. Suhu yang dingin seakan tidak terasa karena hampir semua orang terlihat bahagia dan menikmati suasana, tidak perduli apakah mereka merayakan Natal atau tidak. Kami berjalan menuju tempat makan favorit untuk makan malam lebih dulu, karena konsernya masih dua jam kemudian. Saat musim dingin, sebaiknya perut diisi selekasnya karena itu juga termasuk upaya menghangatkan tubuh.

Sesudah makan malam kami selesai, kami berjalan menuju 7th Avenue antara 56th dan 57th Streets dimana gedung Carnegie Hall yang diresmikan pada bulan Mei tahun 1891. Gedung Carnegie Hall ditujukan sebagai gedung musik, tempat para seniman dunia menampilkan kemampuan mereka. Penggagas pembangunan gedung bersejarah ini adalah salah satu orang terkaya Amerika, Andrew Carnegie, yang menyumbangkan banyak dari kantongnya sendiri demi supaya banyak orang bisa menikmati sei tingkat tinggi yang saat itu hanya bisa dinikmati oleh kalangan tertentu. Gedung ini dirancang oleh William Tuthill dengan desain Gilded Age. Lobby berkarpet merah menyambut para tamu dan seorang petugas (usher) mempersilahkan kami menuju ke lantai dua sebelum konser dimulai. Kami dipersilahkan melihat-lihat museum mini dan menikmati sajian ringan di cafe. Tujuan saya tentu saja museum mininya yang memperlihatkan sejarah berdirinya Carnegie Hall dan siapa saja para seniman dunia yang pernah menampilkan kebolehannya di situ. Museum ini berwujud lemari kaca yang memperlihatkan bermacam-macam memorabilia dari mulai alat yang dipakai Andrew Carnegie meletakkan batu pertama, beberapa tiket pertunjukkan dari abad 18, bola lampu yang diciptakan Thomas Edison yang menerangi gedung ini dan beberapa benda lain yang menarik sejarahnya.

Saat konser hampir dimulai, terdengar bel yang menandakan para tamu bisa turun ke lantai satu untuk memasuki ruangan utama bernama Stern Auditorium dan panggungnya bernama Perelman Stage. Kami beruntung sekali mendapatkan tempat duduk di deretan kedua di sebelah kiri panggung yang bisa melihat jelas para pemain orkestra dan soloisnya nanti. Konser kali ini merupakan penampilan dari para musisi muda yang berusia antara 16-23 tahun dari berbagai SMA dan perguruan tinggi serta sekolah musik ternama di Amerika Serikat dan luar negeri. Suami sengaja memilih program ini supaya anak-anak bisa melihat dan mendengarkan penampilan New York String Orchestra, dan bintang solonya, seorang pemain biola bernama Bella Hristova. Kebetulan putri sulung kami yang bermain biola ingin mendalami gubahan Concerto yang malam itu dimainkan Bela. Bella Hristova berumur 27 tahun, kelahirkan Bulgaria, yang bersekolah di sekolah musik ternama Amerika, Curtis School of Music. Konser dibuka oleh New York String Orchestra yang memainkan gubahan Mozart, Overture to The Marriage of Figaro, yang kemudian disusul dengan Symphony No. 31 in D Major. Orkestra dipimpin oleh Jaime Laredo dan sesudah itu gubahan Mendelssohn diperdengarkan dengan solois, Bella Hristova. Permainan Bella sungguh indah dan mengagumkan, membawakan Violin Concerto in E Minor. Sesudah dia tampil, para penonton bertepuk tangan sangat meriah dan menyerukan “bravo” berkali-kali, hingga Bella harus muncul kembali ke panggung untuk menghormat sebanyak tiga kali. Sungguh pengalaman yang tak terlupakan buat kami semua.

Museum Carnegie Hall

carnegie-hall7

carnegie-hall8

carnegie-hall9

RUANG KONSER STERN AUDITORIUM/PERELMAN STAGE

carnegie-hall10

carnegie-hall11

carnegie-hall1

carnegie-hall

Sesudah penampilan New York String Orchestra dan Bella Hristova

carnegie-hall3

carnegie-hall2